Makassar – Sebanyak 127 akademisi dan pakar hukum pidana dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Sulawesi Selatan menghadiri Workshop "Membedah RUU KUHAP" yang diselenggarakan di Aula Hotel Kampus Universitas Hasanuddin (Unhas), Kota Makassar, pada Jumat (21/2/2025).
Kegiatan ini membahas potensi pelemahan independensi penyelidikan dan penyidikan Polri dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang saat ini menjadi perhatian nasional.
Acara ini dibuka secara resmi oleh Sekretaris Universitas Hasanuddin, Prof. Ir. Sumbangan Baja, M.Phill., Ph.D., yang mewakili Rektor Unhas, Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya peran akademisi sebagai pengkaji objektif untuk menghasilkan rekomendasi konstruktif bagi revisi KUHAP.
Ketua Panitia, Prof. Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H., dalam sambutannya menyampaikan keprihatinannya terhadap beberapa pasal dalam RUU KUHAP yang berpotensi menempatkan Polri di bawah dominasi Kejaksaan. “RUU KUHAP membuka celah bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengontrol proses penyidikan, termasuk kewenangan melakukan penggeledahan, penyitaan, dan evaluasi penahanan secara langsung. Hal ini dapat mengikis independensi Polri sebagai penyidik utama,” tegasnya.
Workshop ini menghadirkan sejumlah narasumber ahli di bidang hukum pidana, di antaranya:
• Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM, membawakan materi "Urgensi Revisi KUHAP dalam Sistem Peradilan Pidana" yang membahas arah kebijakan KUHAP ke depan apakah mengadopsi model pengendalian kejahatan (Crime Control Model), proses hukum yang adil (Due Process Model), atau model lainnya.
• Prof. Dr. Hambali Thalib, S.H., M.H., Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI), memaparkan materi "Kewenangan Polri sebagai Penyidik Utama dan Reformasi Hukum Acara Pidana Menuju Sistem yang Berkeadilan". Ia menegaskan bahwa Polri memiliki infrastruktur dan keahlian memadai sebagai penyidik utama yang tidak seharusnya diintervensi.
• Prof. Dr. H.M. Said Karim, S.H., M.H., Guru Besar Ilmu Pidana Unhas, membahas "Membedah RKUHAP: Implikasi dan Tantangan dalam Penegakan Hukum di Indonesia". Ia menekankan perlunya memisahkan fungsi penyidikan Polri dan penuntutan oleh Kejaksaan secara independen.
• Prof. Dr. Heri Tahir, S.H., M.H., dari Universitas Negeri Makassar (UNM), memaparkan pentingnya fungsi "Check and Balance antara Polri dan Jaksa dalam RUU KUHAP". Ia menyoroti perlunya pengawasan horizontal yang seimbang di antara kedua institusi tersebut.
• Prof. Dr. Sabri Samin F., S.H., M.H., dari UIN Alauddin Makassar, menyoroti "Kelemahan Independensi Penyidikan Polri dalam RUU KUHAP" dan menegaskan bahwa dominasi Kejaksaan dalam penyidikan akan menumpuk kekuasaan secara berlebihan.
Rekomendasi dan Kesimpulan Workshop:
Dalam sesi akhir, workshop menghasilkan beberapa rekomendasi penting untuk perbaikan RUU KUHAP, di antaranya:
• Perlunya publikasi RUU KUHAP terbaru secara terbuka agar dapat diakses oleh seluruh masyarakat, mengingat aturan ini menyangkut hak asasi manusia dan kepentingan publik secara luas.
• Menjaga prinsip check and balance dengan memisahkan secara tegas fungsi penyelidikan dan penyidikan oleh Polri dan fungsi penuntutan oleh Kejaksaan tanpa subordinasi di antara keduanya.
• Mengkaji ulang pasal-pasal dalam RUU KUHAP yang berpotensi melemahkan independensi Polri, seperti Pasal 38, 39, 40, 41, 44, 50, 72, 95, 111, 112, 120, 145, dan 200.
• Menjamin independensi penyidikan Polri melalui prinsip otonomi terbatas, tanpa membiarkan distorsi atau politisasi dari lembaga lain.
• Meningkatkan pengawasan penyidikan Polri melalui lembaga independen seperti Kompolnas atau membentuk badan pengawas khusus, bukan melalui Kejaksaan.
• Menghindari konsentrasi kekuasaan di tangan Kejaksaan dalam proses penyidikan dan pengawasan agar tetap terjaga keseimbangan dan profesionalisme.
Dengan diadakannya workshop ini, para akademisi berharap agar RUU KUHAP tidak hanya mereformasi sistem peradilan pidana secara adil, tetapi juga mempertahankan independensi lembaga penegak hukum demi kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.