Museum La Pawawoi dulunya merupakan istana (Saoraja,red) Raja Bone ,
A Mappanyukki, saat yang bersangkutan menjadi Raja Bone Ke-34. Museum
ini, menyimpan peninggalan Kerajaan Bone, dan terletak di Jalan MH
Thamrin, Watampone.
Museum La Pawawoi Siang itu, Jumat, 16 Maret lalu, tampak sepi.
Tak seperti museum pada umumnya, yang ramai dikunjungi. Khusus di hari
Jumat dan Hari Raya, museum ini tidak dibuka. Museum ini diberi nama
Museum La Pawawoi, karena La Pawawoi Karaeng Sigeri sendiri merupakan
Raja Bone Ke 31 pada tahun 1895-1905, yang mendapatkan gelar Pahlawan
Nasional, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata,
Jakarta.
Istana Raja Bone ini pun dipugar oleh Proyek
Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, yang
dikerjakan tahun 1679 sampai tahun 1981. dan diresmikan menjadi Museum
La Pawawoi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Prof Dr Daud Yusuf, pada tahun 1982.
Salah seorang pengelola Museum
Lapawawoi, A Baso Bone mengatakan, pada museum ini, ada satu peninggalan
dari Raja Bone ke II, La Ummasa Petta Mulange Panre, yaitu lanreseng
atau landasan untuk menempa besi, yang masih tersimpan dan menjadi
koleksi dari Museum La Pawawoi. Menurutnya, Raja Bone kedua ini
merupakan pandai besi karena dialah yang mula-mula menciptakan
dan mengajarkan alat-alat dari besi di Bone.
Menurut A Baso Bone, lanreseng
itu merupakan alat yang digunakan untuk membuat berbagai alat-alat dari
besi. Tak hanya itu, kata dia, koleksi lainnya yaitu bessi sikoi atau
besi yang berupa cincin yang saling mengait satu sama lainnya, milik La
Tenri Tatta Arung Palakka. Dan piagam penghargaan VOC Belanda
kepada Arung Palakka masih tersimpan di Museum La Pawawoi ini. "Piagam
itu merupakan bentuk penghargaan VOC Belanda kepada La Tenri Tatta
Arung Palakka atas kerjasamanya saat itu, dan piagam itu bertuliskan
tinta emas,"jelasnya.
Museum ini memiliki lima ruangan, dan
masing-masing ruangan itu, menyimpan berbagai koleksi peninggalan
kerajaan Bone. Di ruangan pertama atau bagian depan dari Museum ini,
menyimpan sejumlah koleksi seperti koleksi keramik, peralatan makan para
raja, alat tenun, peralatan bissu, peralatan nelayan, serta duplikat
bendera Kerajaan Bone.
Ruangan kedua atau bagian tengah museum ini,
menyimpan pelaminan, peralatan makan Ade Pitu atau Tujuh dewan adat
kerajaan, pakaian adat, dan beberapa koleksi keramik lainnya. Di ruangan
ini, berjejer sejumlah peralatan makan yang sengaja ditata secara rapi.
Demikian halnya dengan pelaminan di ruangan ini.
Sementara itu, di ruangan ketiga menyimpan
silsilah Raja Bone, dari Raja Bone pertama, yaitu Manurunge Ri Matajang
hingga Raja Ke 34, A Mappanyukki. "A Mappanyukki sendiri menjabat Raja
Bone, yang kedua kalinya yaitu ke 32 dan 34,"kata dia. Selain itu, di
ruangan ini juga menyimpan duplikat rambut Arung Palakka, duplikat
mahkota dan pedang, serta photo Raja Bone dan keturunannya. "Photo
penangkapan Raja Bone La Pawawoi Karaeng Segeri, dan saat diasingkan di
Bandung pun ada di ruangan ini,"kata A Baso Bone, sembari menunjukkan
photo yang dijelaskannya.
Sedangkan, di ruangan
keempat, tersimpan duplikat payung emas Kerajaan Bone, dan perisai
kerajaan, kaleo malebu. Dan stempel Kerajaan Bone saat dipimpin Raja
Bone ke 30, Fatimah Banri petta Matinroe Ri Bolampare. Stempel itu
sendiri, digunakan dalam urusan administrasi kerajaan saat itu.
Di ruangan kelima, tersimpan piagam penghargaan VOC Belanda ke Arung
Palakka, dan bessi sikoi milik Arung Palakka, serta sejumlah photo Raja
Bone dan keturunannya.
Pengelola museum ini, A Baso
Bone mengatakan, pengunjung yang datang tak hanya berasal dari Kabupaten
Bone saja. Akan tetapi, sejumlah Kabupaten yang ada di Sulsel.
Tak hanya itu, kata dia, pengunjung dari provinsi lain di Indonesia
juga kerap mengunjungi museum ini. Bahkan, ada pengunjung yang berasal
dari luar negeri, seperti Malaysia, Singapore, Belanda, hingga Prancis.
"Umumnya pengunjung yang berasal dari Malaysia dan Singapore itu, masih
mempunyai keturunan Bugis ,"kata dia.
Dia mengatakan, masih ada
masyarakat yang segan datang ke museum ini. Pasalnya, kata A Baso Bone,
karena mereka menganggap museum ini masih istana raja atau saoraja, dan
menilainya tidak sembarangan orang untuk memasukinya. Padahal, kata dia,
pengelola menyambut baik kedatangan pengunjung ke museum ini, baik
untuk menanyakan benda peninggalan Kerajaan Bone hingga silsilah
Raja-raja Bone itu sendiri.
Umumnya, kata A Baso Bone,
pengunjung yang datang ke museum ini, yaitu pelajar baik di tingkat SD
sampai SMA, dan mahasiswa. Menurutnya, saat ini generasi muda sudah
mulai teratrik mengunjungi, terutama anak sekolah dan mahasiswa. Dia
berharap, agar masyarakat paham sejarah budaya, tradisi dan pahlawannya,
dan ikut melestarikannya. Apalagi, Kabupaten Bone menjadi salah satu
ikon pariwisata Sulsel.
Salah seorang pengunjung Museum La
Pawawoi, Wahab, yang merupakan Warga Balikpapan, Kaltim, mengaku, baru
pertama kali menginjakkan kakinya di tanah leluhurnya, Bone. Sehingga,
ia menyempatkan diri untuk mengunjungi Museum La Pawawoi. Kedatangannya,
kata dia, untuk mengetahui sejarah Kerajaan Bone di masa lampau, dengan
sejumlah peninggalannya di museum ini. "Saya masih keturunan Bugis
Bone, dan kakek kami sering menceritakan tentang tanah leluhur kami di
Bone,"kata dia.